Chohadi SP

Islam dan Pendidikan Masa Depan

9 Jun 2009

JURJAR REFLINT STRATEGI ALTERNATIF PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU



Suprapto, S.Pd.
SMP Negeri 1 Takeran
Guru merupakan sebuah profesi dan sudah seharusnya setiap guru meningkatkan kualitas profesionalismenya menuju pendidikan yang bermutu. Guru yang tidak meningkatkan kualitas profesionalismenya jangan kecewa jika suatu ketika ditinggalkan atau tidak dipercaya lagi oleh siswa-siswinya. Seperti keluarga pasien yang sudah tidak suka dan tidak percaya kepada seorang dokter, sehingga mencari dokter lain yang lebih profesional. Apalagi perkembangan teknologi semakin canggih, guru yang tidak mengikuti perkembangan akan kalah dari siswa-siswinya yang setiap saat hampir mengakses informasi dan ilmu pengetahuan dari internet. Para siswa akan lebih percaya kepada guru yang profesional, sabar, dan siap mendampingi belajarnya setiap saat, meski dengan biaya yang lumayan lebih mahal, yaitu guru internet.
Untuk meningkatkan profesionalisme guru menghadapi perkembangan iptek yang memang tidak bisa dan tidak perlu dibendung, maka penulis mengajukan solusi alternatif kepada para kepala sekolah dan guru untuk menerapkan strategi jurjar reflint. Jurjar reflint bukan istilah dari bahasa asing, tetapi merupakan akronim keren dari kata jujur, belajar, refleksi, dan integrasi.
Strategi tersebut secara sederhana adalah, pertama membangun jiwa besar pada diri guru dan kepala sekolah untuk bersifat jujur, termasuk pada ulangan dan ujian nasional. Boleh jadi selama ini masih banyak yang dengan sembunyi-sembunyi berusaha untuk tidak jujur. Ketidakjujuran itulah yang menyebabkan kurang sungguh-sungguh guru mengajar dan hilangnya kepercayaan siswa terhadap guru, sekaligus menghilangkan semangat siswa belajar dan membunuh masa depannya. Biasa kita dengar celutukan siswa, “Mengapa Bu/Pak belajar, ujian kan juga dibantu?”
Perjuangan untuk hal ini memang perlu pengorbanan. Pengorbanan awal yang pahit dengan banyaknya siswa yang tidak lulus (mungkin) akan berbuah manis di akhir. Siswa akan semangat belajar untuk meraih masa depannya yang gemilang. Para pahlawan rela mengorbankan jiwa raganya untuk masa depan bangsa. Apakah para guru dan kepala sekolah mengorbankan masa depan anak bangsa untuk harga diri sendiri yang sesaat dan yang tidak profesional? Hal ini sungguh sangat aib jika dilakukan.
Kedua, meningkatkan budaya suka belajar, membaca, dan menulis di kalangan para guru. Kebanyakan guru sudah merasa cukup dengan apa yang didapat ketika kuliah dulu. Pada hal dunia terus berubah dan berkembang. Wajar juga jika metode mengajar dan wawasan pendidikannya berkutat pada jaman dahulu dan tidak ada pembaharuan. Profesionalisme guru dengan mengisyaratkan pendidikan S-1 wajar, tetapi jika S-2, bagi penulis tak harus. Apalah artinya S-2 ternyata dalam bekerja tak jauh berbeda dengan yang D-2 atau S-1. Yang penting belajar mandiri dan berkarya yang berguna bagi diri sendiri dan orang lain. Bukan berarti pula belajar S-2 itu tidak penting.
Guru seharusnya biasa menggunakan teknologi canggih, komputer dan internet untuk memperkaya wawasan diri. Hal ini untuk meningkatkan wawasan dan kualitas kompetensi guru sebagai ujung tombak tercapainya tujuan pendidikan pada umumnya. Ada baiknya kepala sekolah memberikan suport dan reward kepada para guru yang suka menulis di media masa atau untuk keperluan lomba. Tidak perlu melihat besar kecil pemberian. Malah selembar piagam penghargaan lebih ia sukai karena suatu saat bila dilihatnya kembali akan ada kenangan manis.
Ketiga, membangkitkan sikap suka merefleksi diri (introspeksi), sehingga para guru diharapkan mau dan mampu bercermin pada kelebihan orang lain atau pihak lain, baik dari segi pendidikan, wawasan, kepribadian, maupun kemampuan pedagogiknya. Jangan sampai terjadi guru “seperti katak di bawah tempurung”, merasa seolah-olah paling hebat dan paling baik ternyata tidak mempunyai kemampuan atau kelebihan yang dihandalkan. Jangan pula seorang guru dikritik siswa malah marah-marah, bahkan sinis dan dendam kepada muridnya yang memiliki wawasan yang luas.
Reflesi yang dapat dilakukan guru antara lain, studi banding ke sekolah yang maju untuk membuka cakrawala pemikiran dan perubahan. Tak perlu malu pula dalam tempo triwulan atau satu semester meminta kepada anak-anak untuk dikritik, bukan minta untuk dipuji. Jika perlu refleksi setiap akhir pertemuan di kelas akan lebih bagus, meski 2-3 menit. Refleksi diri dengan lapang dada ini akan membuka kejernihan jiwa dan semangat untuk maju. Lakukanlah jangan malu.
Keempat, memperbesar tingkat pengintegrasian imtaq, iptek, dan life skill pada semua mata pelajaran. Dengan harapan para guru dapat menanamkan nilai-nilai hidup secara simultan sehingga siswa mempunyai imtaq (iman taqwa) sebagai pengendali diri, mempunyai iptek sebagai kendaraan untuk berkembang maju, dan memiliki life skill sebagai bekal keahlian menyusuri hidup.
Guru yang hanya memberikan iptek kepada siswa, tanpa menanamkan nilai imtaq dan budi pekerti, maka sangat dikhawatirkan terbentuknya jiwa-jiwa yang kering dan hambar, serta mudah putus asa menghadapi hidup. Atau sebaliknya dengan iptek yang dimiliknya akan digunakan mengakali orang lain karena tidak terkendali imtaq. Oleh karena itu tiap-tiap guru sudah semestinya mengintegrasikan hal ini, dan bukan sekedar tugas guru pendidikan agama. Sebagai individu, setiap guru bertugas menyampaikan kebenaran kepada setiap orang, termasuk muridnya. Sekali lagi bukan hanya tugas guru agama. Itulah upaya alternatif peningkatan profesionalisme guru.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda