Chohadi SP

Islam dan Pendidikan Masa Depan

11 Mei 2009

Sinetron Menghempas Etika Siswa, Bagaimana Guru Sastra?



“Sekarang ini sinetron bukan sekedar hiburan dan tontonan, tetapi telah menjadi tuntunan. Dampak negatifnya telah menggeser dan menggusur etika para siswa. Guru bahasa dan sastra Indonesia harus mampu menjadi tokoh tritagonis yang kehadirannya di luar sinetron mampu menengahi isi cerita sinetron.”


Sinetron sebagai Hiburan

Televisi pada masa kini bukan lagi barang mewah. Stasiun televisi pun bermunculan bak tumbuhnya jamur di musim penghujan. Berbagai acara tersaji di televisi dan dapat dinikmati tanpa harus pergi. Berbagai hiburan yang murah sangat mudah dipilih dan dinikmati.Tak ketinggalan tayangan sinetron yang memikat hati.

Sinetron merupakan salah satu acara yang tergolong favorit di semua usia, terlebih usia anak-anak. Bahkan tayangan sinetron lebih menarik dan populer di kalangan siswa dari pada tayangan yang berupa berita, ilmu pengetahuan, atau pendidikan. Para guru boleh menanyakan kepada para siswa, berapa banyak siswa yang mengenal acara BINAR di televisi. Boleh pula menanyakan berbagai judul sinetron di televisi. Sebagian besar mereka hafal dengan acara sinetron lengjkap dengan judul dan episodenya, tetapi tidak mengerti berbagai acara ilmu pengetahuan dan pendidikan.

Sebagain besar para pemirsa termasuk para siswa, menonton sinetron dengan tujuan menghibur diri. Menonton sinetron lebih santai dan tidak memerlukan banyak berpikir. Hati dan perasaannya mudah hanyut dalam arus alur cerita. Apalagi teknik pemenggalan cerita tiap episode selalu pada tahap ketegangan, maka ada kemungkinan para pemirsa ingin mengikuti episode berikutnya. Sehingga sinetron sebagai suatu hiburan benar-benar ada di hati para pemirsa termasuk para siswa.

Sinetron Menghempas Etika

Yang menjadi pemikiran para guru, khususnya guru bahasa dan sastra Indonesia adalah bagaimana memberikan kontribusi positif kepada para siswa agar tidak terkena hempasan badai sinetron. Bagaimana agar mereka tidak terkena dampak negatif tayangan sinetron. Diakui atau tidak, sebuah sinetron akan membawa dua dampak terhadap perkembangan jiwa penontonnya. Dampak positif terhadap perkembangan jiwa jika si siswa mampu menyaring betul isi sinetron. Akan tetapi, besarnya dampak negatif hampir-hampir tidak bisa dipungkiri.

Dari segi pemanfaatan waktu saja, siswa telah banyak dirugikan dengan tayangan sinetron yang menjamur di setiap acara televisi. Mereka lebih suka menonton sinetron daripada membaca buku pelajaran untuk sekolah. Kadang mereka lebih suka berjam-jam menonton daripada menyisihkan waktu sebentar untuk berbuat baik dengan membantu orang tua. Disuruh membantu orang tua, mereka pun enggan beranjak dari depan televisi.

Gaya aktor dan aktris atau para tokoh cerita lebih besar lagi pengaruhnya. Gaya bicaranya, cara berpakaiannya, tingkah lakunya, kebiasaannya-kebiasaannya, telah ikut andil mengubah etika siswa dalam kehidupan sehari-hari. Tidak jarang untuk menarik perhatian, sinetron dibumbui dengan adegan berduaan, berpacaran, sampai berciuman. Padahal adegan itu bukan merupakan tontonan anak usia sekolah. Mereka cenderung meniru dan mencontoh adegan-adegan di sinetron. Apalagi para siswa sebagai penonton banyak yang belum paham dan mengerti benar maksud sebuah sinetron. Mereka tidak mau mengambil dan memahami kakikat amanat cerita. Yang mereka ambil adalah yang kasat mata, yang langsung disaksikan.

Pada puncaknya sinetron menjadi tuntunan, bukan sekedar tontonan. Nilai-nilai etika dan moral ketimuran yang dikenal halus dan santun menjadi hilang. Nilai-nilai iman dan akhlak mulai pudar. Mereka mulai condong kepada budaya yang dicontohkan aktor dan aktris dalam berbagi tayangan sinetron. Wajarlah jika budaya bangsa ini pun mulai tampak bergeser. Kehidupan masyarakat pun mulai tampak menjauhi etika dan norma hukum. Para pelajar sudah biasa pacaran, biasa berciuman, biasa terhadap sesuatu yang belum waktunya dilakukan.

Peran Guru Sastra

Apa gerangan yang hendak dilakukan para guru? Yang jelas tak mungkin akan menghentikan acara sinetron. Mungkinkah si guru juga sudah ketagihan sinetron itu? Lalu, apakah terdiam tanpa upaya memulihkan budaya bangsa yang tinggi? Apakah hendak membiarkan bangsa ini tenggelam dalam budaya jahiliyah yang hina? Guru adalah pendidik, maka mempunyai tugas mulia untuk membina dan mendidik siswanya ke arah hidup yang mulia. Guru bahasa dan sastra Indonesia harus mampu menjadi tokoh tritagonis yang kehadirannya di luar sinetron mampu menengahi isi cerita sinetron. Siswa perlu diberi penjelasannya seterang-terangannya akan dampak negatif dan positif sebuah sinetron bagi perkembangan jiwa dan ruhani.

Pertama, guru hendaknya menjelaskan bahwa bagusnya alur sebuah sinetron sehingga bisa memikat penonton, memang memerlukan berbagai tokoh dengan karakter atau wataknya masing-masing. Jika semua tokohnya berbudi pekerti yang baik, maka tidak akan terjadi konflik, baik konflik pribadi maupun konflik sosial. Jika cerita tanpa konflik, maka ketegangan dan klimak cerita juga tak akan muncul, sehingga cerita tak akan menarik untuk ditonton. Oleh karena itu, tidak semua gaya dan adegan bisa dicontoh dan ditiru.

Kedua, guru hendaknya menjelaskan bahwa sebuah sinetron yang unggul dan bermutu adalah sinetron yang di dalamnya terdapat amanat yang tinggi. Amanat adalah pesan cerita yang dapat dicontoh oleh penonton. Jika di dalam sinetron sedikit nilai-nilai kemanusia dan budi pekerti yang dapat diteladani, maka sudah dapat dipastikan bahwa sinetron itu kurang bermutu dan hanya banyak adegan negatif yang justru merusak citra bangsa. Oleh karena itu tak perlu lagi ditonton.

Ketiga, guru hendaknya menjelaskan indahnya budaya bangsa kita dengan budaya ketimuran yang telah dikenal sejak dahulu dengan ciri khasnya yang halus dan santun. Janganlah budaya yang luhur itu diganti dengan budaya yang diimpor dari barat melalui sinetron yang kurang bagus. Janganlah etika kehidupan yang bagus diganti dengan gaya bicara, gaya berpakaian, perilaku, dan kebiasaan yang jorok atau yang tak senonoh.

Keempat, guru hendaknya sekali waktu juga mengajak siswa mengapresiasi sebuah sinetron, sehingga anak lebih mengerti benar baik buruknya sebuah sinetron. Dengan harapan siswa memiliki budaya kritis terhadap berbagai tayangan sinetron. Akhirnya siswa bisa memilih dan memilah mana yang sekedar tontonan, mana pula yang sebagai tuntunan untuk diteledani.

Kelima, guru hendaknya juga menjelaskan bahwa benteng yang kuat bagi kehidupan masa depan yang cerah adalah mulianya budi perkerti. Bagusnya budi perkerti tak dapat dipisahkan dengan kuatnya iman. Oleh karena itu, setiap siswa hendaknya didorong untuk memiliki akidah atau keimanan yang kuat terhadap agama. Membiasakan diri taat beribadah, dan selalu untuk meningkatkan kualitas beribadahnya. Jangan beribadah hanya sekedar terlepas dari kewajiban. Akan tetapi beribadah sebagai suatu kebutuhan jiwa agar hidup merasa damai. Laksana badan yang tidak diberi makan, maka tidak akan sehat. Hati yang tidak biasa diberi makan dengan ketaatan ibadah maka akan mati juga. Hati akan sulit dinasihati dan diarahkan.

Upaya-upaya membersihkan etika dari noda-noda kotor dan perilaku dosa, bukanlah tanggung jawab seorang guru agama saja. Setiap guru, apalagi guru sastra harus memiliki komitmen yang tinggi untuk hal ini. Jika tidak, maka guru hanya akan sekedar sebagai pengajar bukan sebagai pendidik lagi. Dia bukanlah sebagai guru yang profesional, tetapi guru suka material. Dia bukanlah guru ideal, tetapi guru yang jual mahal. Guru hendaklah membangun kepribadian siswa dan kepribadian bangsa melalui profesinya, menuju pribadi dan bangsa yang mulia. @

Label:

0 Komentar:

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda