Chohadi SP

Islam dan Pendidikan Masa Depan

9 Jun 2009

Hukuman bagi si Jujur

Dimuat pada Majalah Media Pendidikan Jatim Edisi Juni 2009

Suprapto, S.Pd.

SMP Negeri 2 Takeran Magetan


Kelasku dikenal banyak guru sebagai kelas pendiam. Tapi kadang kami dikejutkan dengan sikap aneh seorang temanku. Ia cukup tampan lagi gaul. Penampilannya stil and necis. Ia tergolong anak yang jujur. Sebut saja ia Fulan.

Fulan memang biasa tidak mengerjakan PR. Pagi itu Bu Guru IPS segera masuk setelah bel berbunyi. Biasa kami berdoa bersama dengan suasana hitmat sebelum guru masuk. Setelah salam guruku tanpa basa-basi.

“Anak-anak PR-nya dikeluarkan!”

“Ya, Bu.” Satu kelas serempak.

“Fulan, bawa sini PR-mu!”

“Ini Bu.”

“Lho, kok bersih sekali.”

“Ya, Bu. Ayahku menasihatiku agar bukuku tidak boleh banyak coretan.”

“Tapi…, bukan bersih tanpa tulisan begini dong….”

“Maaf Bu, aku khawatir jawabanku salah dan nanti saya coreti. Ibu kan menyuruh menulis pakai bolpoin, bukan pensil.”

“Lalu apa maksudmu…?”

“Karena saya tidak bisa, akhirnya tidak saya kerjakan, Bu.”

“Pintar alasan kamu, sebagai gantinya kamu lari keliling lapangan 10 kali.”

“Terima kasih Bu. Semoga dengan lari aku semakin sehat dan kuat.”

Si Fulan memang tidak suka berpikir berat-berat. Berlari baginya lebih ringan daripada diajak berpikir IPS, apalagi Fisika atau matematika. Rasa ogah diajak mikir.

Usai IPS, Pak guru matematika masuk kelas. Anak-anak PR-nya kita bahas. Siapa yang belum mengerjakan.

“Saya Pak.” Fulan menjawab dengan jujur.”

“Coba bawa sini!”

Dilihatnya buku Fulan masih bersih. Tak ada satu pun jawaban.

“Mengapa kamu belum mengerjakan?”

“Tidak bisa Pak. Maaf ayah ibu sibuk sekali, aku nggak tega mau bertanya.”

“Fulan sebagai gantinya kamu tidak mengerjakan minta dihukum apa?”

“Pak, mengapa orang jujur belum mujur?”

“Apa maksudmu?”

“Aku sudah berusaha selalu jujur, tetapi aku selalu dihukum di sekolah karena tidak mengerjakan PR. Padahal aku memang benar-benar tidak bisa.”

“Tapi kamu belum berusaha. Minta hukuman apa?”

“Lari saja Pak, biar sehat.”

“OK, silakan 10 kali keliling lapangan.”

Fulan lagi-lagi minta lari, ogah diajak mikir. Setiap dihukum minta lari agar sehat.

Kami semua diam mengikuti pelajaran matematika, takut pak guru marah juga kepada kami. Sebenarnya beliau ini sangat ramah lagi penyayang. Fulan masuk mengikuti pelajaran setelah menyelesaikan hukuman dari pak guru atas permintaannya sendiri.

Bel istirahat berbunyi, hati kami terasa lega. Ya…, sebentar kemudian Bu Guru Fisika yang centil masuk.

“Anak-anak sejak pagi kelihatannya banyak PR yang dibahas. Nggak apa-apa ya kita sekarang juga mbahas PR.”

“Lho, Bu Guru kok tahu kalo banyak PR.” Si fulan menjawab dengan ringan.

“Ya, ia … lah. Bu guru kan beda dengan muridnya, gitu … dong. Bu Guru pinter cantik lagi, sedang muridnya ….”

“Maaf Bu, jangan ngenyik (mencela) anak-anak ya.” Fulan menyela kata guru.

“Fulan siapa yang saya enyik.”

“Saya Bu. Saya ini bodoh, tidak cantik, tapi….. sedikit tampan, kan Bu?”

Teman sekelas semua tertawa dan mengolok-olok Fulan.

“Fulan, memang kamu tampan. Tapi masa kamu bodoh?” jawab guruku.

“Ya, ia …lah, Bu Guru.”

“Lho, mengapa?”

“Aku selalu nggak bisa nggarap PR dan selalu dihukum.”

“Lha, kamu sekarang ngerjakan PR Fisika belum?”

“Belum Bu. Tapi … orang jujur itu kan tidak dihukum lagi kan, Bu?”

“Dihukum tak apa-apa asal kamu semakin pandai. Kamu minta hukuman apa.”

“Lari saja Bu, saya tadi sudah lari dua kali biar tiga kali, … biar tambah sehat lagi Bu.”

“Ya, lari itu menyehatkan badan. Mau dihukum agar pikiranmu sehat?”

“Maaf Bu, jangan ngenyik saya lagilah.”

“Apanya yang saya enyik.”

“Bu Guru bilang biar pikiran saya sehat. Padahal hal ayah ibuku bilang aku ini berpikiran sehat. Aku bukan gila, aku bukan sinting. Malahan ayah ibuku bilang aku anak yang jujur. Kenapa bu guru bilang aku dikuhum biar pikiranku sehat.”

“Maaf Fulan, ya maaf. Aku salah. Maksud bu guru biar kamu cerdas. Aslinya kamu memang cerdas setiap alasanmu masuk akal”

“Terima kasih Bu. Doakan aku jadi anak yang cerdas.”

“Ya…, jelas dong, murid Bu Guru mesti didoain Bu Guru. Tapi sebagai pelengkap agar cepat cerdas kamu kerjakan dulu PR-nya 10 kali di buku nggak boleh bertanya jika tidak terpaksa.”

“Maaf Bu, aku memang tidak bisa, aku ingin bertanya satu kali saja boleh ya Bu.”

“Ya, boleh. Silakan.”

Fulan bertanya kepada temannya dengan sekali bertanya.

“Lho, Fulan kok lama banget kamu bertanya, katanya hanya satu.”

“Maaf bu. Aku tadi hanya minta ijin satu kali bertanya. Dan ibu mengizinkan. Padahal hal aku hanya sekali bertanya, betul Bu, tanya sama Hendra.

“Hendra, betul ia hanya bertanya satu?”

“Ya Bu, bertanya satu kali untuk sepuluh soal. Kata si Fulan biar cepat selesai.” Jawab Hendra.

“Fulan, kau memang pantas jadi anak yang cerdas. Kau layak jadi anak pintar, tapi jangan mintari orang lain ya!” Teman-teman sekelas tertawa.

Jam terakhir guru bahasa Indonesia masuk kelas dengan senyum khasnya. Sebagai suatu kebiasaan, sebelum mengawali pelajaran, Pak guru yang satu ini lagi-lagi memerintahkan kepada kami, “Siapa yang ingin bertanya materi yang lalu silakan angkat tangan!”

Siswa-siswi hanya terdiam. Sang guru mengingatkan kami, “Nak, kelasmu ini terkenal dengan pendiam, kecuali satu saja.”

Sebenarnya kami tak mengerti pa yang dimaksud kecuali satu. Tetapi beliautak menjelaskan. Beliau melanjutkan lagi.

“Kalian, … ditanya diam!

… disuruh bertanya diam!

… bisa diam!

… tidak bisa diam!”

Kami semua memang hanya diam. Guruku melanjutkan lagi.

… siapa yang sakit gigi? Semua diam.

… siapa yang sari awan? Semua diam.

… siapa yang tunawicara? Semua diam.

Yah, memang pantas kalian dikatakan kelas pendiam. Tunjukkan bahwa kalian adalah anak-anak pemberani!”

Kelas kami dikejutkan lagi oleh seorang teman yang langsung berani angkat tangan. Bahkan angkat tangan dengan kedua tangannya.

“Oh, Fulan pemberani betul kau, Nak? Ya baik, mau menyampaikan apa?”

“Angkat tangan Pak, kami menyerah, maaf janganlah kami diberi pertanyaan, atau disuruh bertanya, biarkan kami jadi anak-anak pendiam.”

“Lho, mengapa ….”

“Bapak lupa peribahasa yang berbunyi air tenang menghayutkan? Atau Air beriak tanda tak dalam?

“Ya, tentu yang mengajarkan saya. aku masih ingat betul, lalu apa hubungannya?

“Siapa tahu pendiam kami ini menghayutkan? Kami satu kelas lulus semua dalam ujian nasional dan mendapat ranking satu.”

“Ya, saya doakan mudah-mudahan tidak ranking satu dari bawah.”

Semua serentak menjawab, “Amien.!!!”

“Doakan pula Pak, saya yang bodoh ini jadi ilmuwan, seperti Einstein atau Edison” kata Fulan.

“Lho, Fulan apa kamu sudah baca kisah kedua tokoh itu.?”

“Sudah Pak. Kecilnya mereka berdua lebih bodoh daripada saya kata ayahku.”

“Jadi, kamu ingin seperti mereka.”

“Tentu Pak, aku ingin melebihi mereka. Aku kan lebih cerdas dari mereka pada usia yang sama.”

“Hebat kamu Fulan. Bagaimana dengan PR bahasa Indonesia? Sudah selesai?”

Fulan terdiam, satu kelas serempak “Belum….”

“Yang belum kalian semua atau Fulan?”

“Maaf Pak, yang belum saya, dan aku yakin teman-temanku sudah semua. Temanku tadi membantu aku menjawab karena aku terdiam.”

“Mengapa saya tanya, kamu diam?”

“Maaf Pak boleh saya jujur?

“Harus jujur biar mujur. Jangan bohong agar ditolong.”

“Sungguh Pak?”

“Iya…, katakan.”

“Saya belum mengerjakan karena saya memang benar-benar tidak bisa. Pak, seharian ini aku sudah dihukum oleh tiga guru karena kejujuranku. Kalau Bapak tega silakan saya diberi hukuman lagi.”

Kami semua teman sekelas merasa haru dengan Fulan yang mengakhiri kata-katanya dengan mata berkaca-kaca.”

Pak guru bahasa dengan jenggot panjang itu pun terasa tak tega. Semoga kata-kata Fulan itu bukan bermaksud menipunya tetapi keluar dari hatinya yang dalam karena kesadaran.

“Baiklah kita bahas saja PR yang belum dapat kalian selesaikan,” kata Pak guru.

Fulan dengan kepala menunduk merasa malu. Dia memang bukan anak yang malas tetapi memang tidak bisa. Dia sebenarnya pendiam tetapi pemberani. Berbeda dengan kami semua. Kami punya kelebihan tetapi sayang pendiam. Barangkali ada baiknya kami sedikit pemberani seperti si Fulan.

Bel pelajaran berakhir. Kami semua sudah siap berdoa untuk pulang. Tapi Pak guru mengingatkan kami agar memberi salam kepada Fulan.

“Beri salam si Fulan dan doakan agar ia benar-benar jadi ilmuwan.”

“Amin, terima kasih Pak.” Fulan menjawab dengan nada datar sedatar jalan yang akan dilaluinya pulang sekolah dengan sepeda ontel. @

(Kuperuntukan cerpen ini buat anakku M. Choiruddin Hanif, SDN Purworejo 2, Nguntoronadi Magetan)

Label:

1 Komentar:

Pada 16 Maret 2010 pukul 11.42 , Blogger dunia siswa mengatakan...

Pak, caranya mengirimkan karya ke majalah itu gimana ya? Soalnya saya pengen banget. Iza

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda